Kamis, 24 Juli 2014

Ramadhan oh…Ramadhan ( Kisah kecil di Bulan Ramadhan)

Dulu sekali, ketika aku masih duduk di usia sekolah dasar, yang paling aku tunggu adalah ketika bulan Ramadhan akan usai. Dimana sanak saudara berkumpul, berbagai macam makanan dihidangkan dan juga memakai pakaian baru. Moment terbaik untuk bisa berkumpul dengan seluruh keluarga besarku yang oleh jarak harus terpisah oleh jarak dan waktu. Padahal seharusnya bulan Ramadhan kita berlomba-lomba menambah pahala. Namanya anak kecil hanya kesenangan yang di mengerti. Itu dulu sekali. Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit aku tau. Akhir bulan Ramadhan adalah hal yang paling membuatku sedih, menyesal dan rasanya ingin mengulang kembali. Selama sebulan penuh berpuasa lomba memohon ampunan dan menabung pahala. 
Terlalu singkat waktu sebulan buatku. Belum maksimal aku mengisi waktu di bulan Ramadhan ini dengan segudang hal-hal baik. Rasanya belum cukup banyak pahala yang bisa aku tabung. Hanya penyesalan dan penyesalan. Namun, bukan kuasa manusia untuk mengulang kembali waktu. Bumi terus berotasi dan siang malam terus silih berganti. Dimana akhirnya pertemuan pada akhir Ramadhan sudah semakin dekat. Sedih rasanya harus mengakhiri bulan penuh berkah dan penuh ampunan.


Waktu memang tidak bisa dijadikan teman. Karena tidak mau berkompromi melambatkan, mempercepat apalagi mengulang. Semoga, masih diberi kesempatan untuk kembali bertemu dengan bulan Ramadhan tahun berikutnya. Dan kelak jika bertemu tidak ada slogan penyesalan yang lagi. Penyesalan selalu di akhir.

Jumat, 18 Juli 2014

Kita Disini (Di Bawah Tiang Bendera)

Awalnya sebagian dari kami saling mengenal lewat dumay (dunia maya) dan sebagiannya lagi justru baru pertama kali bertemu. Tapi rasa malu sungkan atau yang lainnya seolah sirna begitu saja. Kita mengobrol membahas satu persatu permasalahan, ide kreatif atau yang lainnya dengan penuh antusias, kehangatan dan kekeluargaan. Seakan kita semua adalah keluarga lama yang terpisah dan sekarang baru dipertemukan. Kita duduk di pusat kota dan ditempat paling istimewa yang akhirnya terus menjadi tempat favorit yang memiliki sejarah sendiri untuk kita.
Kita sering menghabiskan malam disini hingga terkadang waktu berlalu begitu cepat menyisakan hanya kita. Terkadang kita menjadi pusat perhatian karena tingkah kita yang unik dan berbeda, tetapi itu bukan masalah. Walaupun disaat kita bersama tidak ada kopi atau cemilan bukan halangan untuk bertemu dan duduk bersama. Justru sebaliknya, rasa rindu akan datang menggelayut ketika sudah lama tidak bertemu.
Disinilah juga dimana ide-ide kreatif bermunculan, gebrakan untuk peduli terhadap social, lingkungan dan lain sebagainya. Ditempat ini kita juga mengajak sesama untuk saling berbagi. Selain itu tempat untuk mengajak dan saling mengingatkan untuk terus peduli dan melakukan hal yang lebih baik. Sangat berkesan.
Tidaklah perlu tempat yang mewah dan suguhan yang istimewa. Walaupun beratap langit malam yang terkadang di penuhi bintang dan dihiasi bulan atau tak jarang hanya gelap lalu beralaskan kertas bekas atau duduk tak beralas bukan alasan dan bukan masalah untuk bisa terus merealisasikan ide-ide  kreatif yang terus bermunculan.

Terimakasih tempat penuh kenangan, penuh cerita dan penuh inspirasi. Di bawah tiang bendera alun-alun Purwokerto saksi bisu lahirnya semangat membara, ide kreatif dan orang-orang hebat.  

Selasa, 15 Juli 2014

Selimut Duka di Bumi Para Syuhada (Jarak Bukanlah Sebuah Alasan)

Ketika darah mulai membahasi tanah yang gedungnya sudah porak poranda disanalah terdapat mukjizat. Generasi baru lahir bersama para Syuhada yang semakin membara membela tanah airnya. Bumi Palestina Bumi Gaza tengah porak poranda. Ratusan jiwa darahnya telah menyatu dengan tanah dan ribuan lainnya tengah berusaha sekuat tenaga merasakan sakit bahkan meregang nyawa. Ribuan kilometer jarak yang memisahkan, namun duka mereka begitu menusuk relung jiwa yang kini masih merasakan eforia pemilihan pemimpin baru untuk negeri tercinta.
Jarak Bukanlah Sebuah Alasan untuk terus berdiam hanya melihat mereka dari layar televisi. Kita bisa membantu mereka dengan apa yang kita punya. Sudah banyak orang-orang yang terjun untuk membantu, menyumbangkan sebagian harta mereka, melakukan aksi atau orasi mengecam kekejaman para Zionis, melakukan doa bersama atau shalat gaib dan lain sebagainya. Disana saudara kita berjuang membela hak mereka, memperjuangkan tanah mereka, memperjuankan kemerdekaan milik mereka. Sejenak pejamkanlah mata, aturlah nafas agar kita lebih tenang lebih khusyuk membaca doa-doa yang ingin kita sampaikan kepada Allah SWT, memohon perlindungan. kekuatan, kesabaran, ketenangan, dan segala harapan terbaik untuk mereka. Sedikit waktu untuk mereka, tidak akan mengganggu rutinitasmu atau kesibukanmu yang segunung. Namun, sedikit waktu yang kita berikan untuk mereka sangatlah berharga.
Allah SWT selalu melindungi orang-orang yang berbuat kebajikan di jalan-Nya. Dan tiada kuasa selain kuasa-Nya
-AL-FATIHAH-

Senin, 14 Juli 2014

Kisah Sejengkal (diantar Bencana Alam Cikadu)

akses menuju desa Tembelang (pasca banjir)
Ini kisahku yang tak punya banyak waktu untuk terus bersama mereka, keluarga baru dan malaikat-malaikat kecilku. Aku mengenal mereka saat pertama kali kesana tanggal 15 Februari 2014. Dan kembali lagi tanggal 22 Februari 2014 dengan segudang rindu pada mereka.
Bencana alam yang sempat menguncang seluruh kawasan Indonesia tak luput pula menguncang di daerah pinggir di kabupaten Pemalang. Hampir sebagian kabupaten Pemalang terkena musibah banjir, longsor , banjir bandang dan masih banyak lagi.
Dari sekian desa yang terkena dampa kakhirnya rekan-rekanku dan aku menentukan pilihan, mentotalkan seluruh upaya kami di desa Cikadu kecamatan Watukumpul kabupaten Pemalang. Desa Cikadu memiliki tiga posko pengungsi yakni posko Pustu (balaidesa) posko Kalilingseng(pengungsi desa Tembelang) dan posko Jojogan (sekarang terdiri dari 4 posko ditambah posko Siranti). Desa Cikadu mengalami longsor pada tanggal 1 Februari malah hari. Tanggal 5 februari beberapa rekanku datang mensurvey lokasi pengungsian dan bencana.
Lokasi bencana yang berada di dusun Tembelang cukup jauh dari lokasi pengungsian di Kalilingseng. Akses menuju lokasi bencana hanya bisa dengan jalan kaki menyusuri jalanan aspal kecil yang sepanjang jalan terdapat titik longsor. Selain itu harus menyusuri sungai yang penuh ranting akibat banjir bandang. Sesampainya di desa Tembelang kita hanya bisa menyaksikan rumah-rumah yang di tinggal. Seperti desa mati tanpa penghuni juga tanpa listrik. Karena akses listrik juga harus terputus, padahal 4 bulan yang lalu desa ini baru saja mendapatkan pasokan listrik.
Berjalan memasuki desa melihat-lihat dimana kenangan pernah dibuat disini begitu menyayat hati. Satu perhatianku dipaku pada longsoran tanah yang mengenai rumah hingga porak ponda. Terbesti pikiranku bagaimana perasaan warga Tembelang saat bencana ini berlangsung.Takut, resah, sedih semua bercampur tidak tau mana yang lebih mendominasi. Memang desa Tembelang bukan lokasi yang aman untuk dihuni karena sebagian desaTembelang hampir dikepung oleh longsor.
antusias anak-anak menonton film
Untuk beberapa minggu atau mungkin bulan warga desa Tembelang harus rela tinggal beratap bangunan sekolah kecil di SD Negeri 4 Kalilingseng. Segala kebutuhan masih minim koordinasi juga belum berjalan. Perlahan namun pasti semua relawan menata dan mencari bantuan guna mencukupi kebutuhan pengungsi. Sebagian kelas di gunakan untuk para pengungsi,satu kelas di gunakan untuk gudang logistik dan posko kesehatan terkadang digunakan untuk tempat bersitirahat para relawan, teras kecil sekolah di gunakan untuk dapur umum dan sebagian kelas dibiarkan kosong, Terkadang di gunakan untuk kegiatan menonton film bersama atau trauma hailing.
Dalam keadaan serba kekurangan,anak-anak juga harus tetap menuntut ilmu. Mereka rela bersekolah di tenda darurat yang di bangun di lapangan sekolah. Tenda darurat hanya bisa menampung dua kelas yang bahkan tidak ada sekat. Bisa dibayangkan, mereka belajar secara bergilir berdesakan, bukan suasana yang sesuai untuk belajar. Namun mereka tidak menyerah dan tidak pernah putus asa untuk terus belajar. Di petang hari mereka mengaji bersama di masjid dekat posko mengungsi. Mereka semua adalah anak yang santun, pintar, aktif dan sangat antusias. Banyak hal yang ingin mereka ketahui.
Awalnya memang sulit mengatur mereka apalagi mengajak mereka untuk ikut kegiatan trauma hailing. Namun, karena mereka suka sesuatu yang baru dan menarik, akhirnya mereka pun ikut antusias.Biasanya diawali pagi hari kami melakukan senam kecil. Menggoyangkan tangan,kaki, pinggul dan kepala di iringi lagu sederhana. Saat menjelang malam biasanya diisi dengan mendongeng atau menonton film. Tak hanya menghibur mereka kami juga turut mengajak mereka untuk belajar namun tetap diselingi dengan bermain. Mengajarkan mereka untuk menjaga lingkungan dengan cara memungut sampah, mencuci tangan, kuis dan lainnya.
Mereka masih sangat polos dan belum melirik teknologi modern. Pernah ada kejadian lucu saat menonton film di pagi hari karena di luar hujan. Awalnya mereka antusias menunggu film apa yang di akan di saksikan. Saat film berlangsung, satu persatu dari mereka mulai sibuk menjahili teman sebelahnya dan akhirnya mereka lebih sibuk untuk bermain puzzle atau congklak. Tidak bisa menolak, aku pun ikut bermain dengan mereka, menatap polah mereka yang lucu atau menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil mereka.
Dunia anak-anak memang dunia yangsangat menyenangkan penuh imajinasi dan penuh mimpi. Terkadang aku dan temanrelawan yang lain berkhayal kelak nanti jadi apa mereka. Aku pernah melontarkanpertanyaan pada anak-anak kecil yang aku ajak main. Mereka kisaran umur kelasdua sekolah dasar hingga yang paling kecil tiga tahun. Ketika aku bertanyabesar nanti mereka ingin jadi apa dengan polos mereka menjawab ingin jadi kakakrelawan. Sederhana. Tapi membuat kami para relawan terutama aku terharu. Tidakbanyak waktu yang aku habiskan bersama mereka namun mereka banyak mengajarkanaku tentang ilmu kehidupan.
Aku menjuluki anak-anak kecil pengungsian sebagai malaikat kehidupan. Senyum, semangat dan semua yang ada pada diri mereka adalah anugrah yang Tuhan berikan di balik musibah ini. Mereka memberi lebih dari yang orang-orang beri. Mereka sangat kuat melebihi longsor yang menimbun desa mereka. Mereka lah malaikat kehidupan memberikan pelita digelapnya jalan di depan nanti, mereka adalah embun yang menangkan hati dan mereka adalah makhluk kecil yang kelak nanti akan meneruskan generasi ini. Mungkin,tidak ada yang istimewa mungkin bagi kalian yang belum bertemu mereka. Tapi bagiku yang mengenal mereka hanya dalam hitungan jam hitungan hari mereka sangat istimewa. Tetap tegar dan kuat malaikat malaikat kecilku.



bersama mereka (keluarga)



Musibah bencana longsor yang menimpa dusun Tembelang pada 1 Februari 2014 malam hari, harus memaksa para penduduk dusun untuk mengungsi tempat yang lebih aman. Terpilihlah komplek bangunan sekolah kecil Sekolah Dasar Negeri 4 Kalilingseng yang berjarak cukup jauh dari lokasi bencana. Disana para penduduk desa harus rela tinggal bersama berbagi atap untuk tempat bernaung mereka selama berbulan-bulan ke depan. Di tempat itu, berkumpul 333 orang yang terdiri dari beberapa kepala keluarga yang besar diantaranya memiliki anak-anak.
Di posko pengungsi mereka melakukan aktifitas seperti biasa secara bersama. Ruangan-ruangan sekolah dasar di alih fungsikan untuk tempat beristirahat, untuk gudang logistic dan posko kesehatan, untuk dapur umum dan sisanya di gunakan secara fleksibel. Dengan adanya alih fungsi seperti ini, maka para siswa sekolah dasar harus belajar di tenda darurat yang didirikan di tengah lapangan sekolah. Secara bergantian para siswa menimba ilmu didalam tenda yang dibagi menjadi dua bagian kelas. Dengan peralatan dan kondisi seadanya mereka tetap menimba ilmu dengan semangat.
titik longsor
Untuk tetap terus menjaga mental dan memberikan hiburan yang beredukasi, para relawan biasanya melakukan trauma hailing. Beragam permainan, kuis, dongeng dan segala macam trauma hailing yang di berikan semata-mata untuk tetap membuat mereka menikmati masa anak-anak yang selalu di hiasi dengan imajinasi dan kreatifitas. Dengan keterbatasan yang ada mereka juga tetap bermain dengan peralatan yang ada. Seperti, congklak, puzzle dan permainan tradisional lainnya. Di posko tidak ada media elektronik, hanya berandalkan laptop dan juga mesin proyektor yang sengaja para relawan siapkan yang digunakan untuk menonton film bersama.
Sebenarnya sekolah dasar ini bukanlah sekolah yang sangat minim fasilitas, hanya saja kurang. Perpustakaan yang ada juga tidak terurus karena masih digunakan untuk mengungsi. Anak-anak hanya bisa membaca buku seadanya dan buku-buku dari donasi. Padahal adanya perpustakaan sangat menunjang mereka untuk tetap terus belajar dikala waktu belajar mereka harus berkurang di sekolah. Selain itu perpustakaan juga berguna untuk membuka wawasan terhadap dunia di luar sana yang masih belum mereka ketahui. Apalagi sebagian dari mereka tidak memiliki transportasi pribadi untuk keluar dari kawasan desa. Transportasi umum juga tidak menembus hingga ke posko dikarenakan akses yang mulai rusak dan juga sebagian tertutup longsor.
Bisa dibayangkan mereka hidup ditanah yang subur namun harus minim fasilitas. Beberapa hari disana menyadarkan pada aku bahwa ternyata negeri ini belumlah merdeka untuk mereka. Yang harus bersabar menghadapai kehidupan yang minus dikala yang lain sudah merasakan enaknya hidup di zaman modern.
Namun, dengan keadaaan seperti itu para anak-anak di didik untuk belajar agama. Setiap hari usai ba’da magrib mereka berkumpul di masjid dekat posko untuk mengaji. Sebagian dari mereka sudah pintar, bahkan bagi anak-anak yang belum pandai membaca atau menulis mereka sudah pintar membaca iqro. Sungguh kebutuhan yang perlu mereka punya untuk pedoman nanti, dimana sebagian anak-anak diluar sana minus akan pendidikan agama.
Zahra bayi kecil yang lahir ketika di pengungsian
Mencari informasi lebih dalam dengan waktu yang terbatas, bisa disimpulkan akan keadaan kesadaran pendidikan untuk masyarakat desa ini. Kebanyakan dari mereka masih berfikiran kala tempo dulu.Dimana seorang gadis perempuan tidaklah perlu pendidikan tinggi, cukup membaca dan menulis. Alasannya karena kelak nanti akan mengurus keluarga dirumah.  Faktanya banyak gadis belia usia belasan yang sudah menikah. Bahkan sebagian dari mereka sudah memiliki momongan. Seharusnya di usia mereka, mereka masih memikirkan jenjang pendidikan lebih tinggi atau bermain layaknya remaja.
Selain itu masyarakat desa juga kekurangan laki-laki usia produktif. Kebanyakan, dari mereka merantau keluar desa atau kota mencari peruntungan dengan bekal pendidikan yang minim. Memang,kebanyakan laki-laki desa di dominasi oleh bapak-bapak dan anak-anak. Sedikit sekali untuk laki-laki usia produktif, sekalipun ada pasti sudah memiliki istri.
Terbayangkan, hidup dalam pengungsian menanti relokasi pemerintah yang menjanjikan memberi lokasi yang aman untuk warga desa ke depannya. Warga hanya bisa berharap dan berdoa semoga secepatnya relokasi bisa dituntaskan. Mereka bisa hidup normal kembali, menata kembali rantai kehidupan yang kemarin sempat terbelit. Kembali mengais rejeki demi anak-anak dan menjalani kehidupan dengan tentram. Semoga janji pemerintah bukanlah hanya janji di mulut belaka dan semoga bencana yang terjadi bisa dijadikan pembelajaran diambil hikmahnya.
Karena bencana bukanlah akhir dari segalanya. Namun titik dimana kita diajarkan untuk kembali menata dari awal agar lebih baik, lebih cermat, lebih teliti, lebih tekun dan lebih kuat dari sebelumnya. Tidak ada manusia yang diberi cobaan melebih batas kemampuannya.


pelita dalam kegelapan. senyum mereka adalah semangat



antusias mereka mengikuti berbagai macam kegiatan, seperti cuci tangan


pelita yang selalu bersinar (adik-adik kecil)


salah satu rumah terkena dampak longsor

sekolah sementara 
mengenang kehangatan desa Tembelang

Senin, 07 Juli 2014

Romantisme Kecil (Bukit Cinta)

atktivitas gunung slamet, kepulan asap yang keluar dari puncak slamet
Lama sekali mendamba camp di tempat yang sedikit berbeda. Dulu hanya sebatas menikmati sore senja sambil lalu berganti malam. Tapi kali ini sepertinya waktu yang pas. Beberapa hari tampak cerah dan malam dihiasi banyak bintang. Disana pasti akan sangat indah.

 Tidak ada salahnya tetap camp walau akhirnya hanya berdua, daripada sendirian. Tapi camp kali ini tidak hanya menikmati tempat baru tapi juga melihat lebih dekat aktifitas gunung Slamet yang memang tengah aktif beberapa bulan lalu. Sengaja memulai trak sedikit agak malam karena jaga-jaga cuaca berubah dan harus banting stir. Traknya tidak sulit dan tidak terlalu lama. Tapi sedikit agak menanjak dan berkali-kali harus menyingkirkan semak-semak yang menutup jalan. Untunglah trackanya masih lumayan jelas. Jika tidak harus berhadapan dengan semak belukar atau jurang yang menemani sedari tadi disisi kiri jalan.
Tidak lebih dari 30 menit. Akhirnya ttttaaarrraa….inilah "bukit cinta". Entah kenapa tempat ini dinamai seperti itu. Tapi menurutku mungkin dari sisi romantis nya, makanya tempat ini diberi nama Bukit Cinta. Jelas saja, ketika sampai di atasnya ribuan kerlip bintang menghiasi setiap mata memandang. Tidak hanya di langit tetapi juga kerlip lampu kota yang terhampar luas. Indah sekali. Tak jarang ketika malam semakin larut, bintang jatuh berburu untuk duluan sampai dibumi. Mempesona. Malam itu hanya bintang yang bisa dinikmati karena aktifitas gunung Slamet tidak terlihat jelas ketika malam. Segera tidur adalah pilihanku.
Ketika kicauan burung mulai terdengar sayup-sayup aku terbangun. Dan mendapati indahnya bukit cinta yang berbeda ketika malam tadi. Dengan gagah gunung Slamet terlihat lebih dekat dan lebih hijau. Puncaknya mengepul membumbungkan asap kehitaman yang pelan namun pasti dan terkadang terdengar seperti suara dentuman. Mega merah masih malu-malu menampakkan cahayanya. Subhanallah. Tidak kalah mempesonanya matahari terbit kala itu.

matahari terbit yang menawan












Di bukit cinta bukanlah tempat camp luas, hanya bisa menampung dua tenda saja. Disini juga tidak tersedia mata air. Tapi tetap saja, bukit cinta menjadi tempat favorit untuk menikmati indahnya alam tanpa harus jauh-jauh atau berada diketinggian 2000mdpl. Pagi itu cerahnya langit harus memaksaku turun lebih awal. Karena tempat yang terbuka dan aktifitas gunung Slamet membuat suhu udara meningkat. Semoga masih tetap indah dan romantis hingga ribuan tahun nanti. Tetaplah terjaga.

-Perjalanan 3-4 Mei 2014-


sisi lain bukit cinta

Harta Karun di Balik Legenda (Pakuwaja)

sisi lain Pakuwaja
Memang Dieng menyimpan sejuta harta keindahan alam yang masih terjaga kelestariannya. Dan kali ini aku mendapat kesempatan mengunjungi salah satu harta yang masih sarat akan legendanya. Total kami bersembilan tepat malam hari kami meluncur langsung ke pos perijinan. Anehnya, di pos perijinan rombongan kami sedikit dipersulit. Banyak alasan yang terlontar ketika pihak perijinan tau kemana tujuan kami. Track yang susah, track yang terjal dan berat terlebih cuaca dingin, tidak ada sumber mata air dan lain sebagainya adalah alasannya. Tapi leader kali ini Mas Hands mengaku tidak masalah dan aman saja. Kami semua percaya karena dia sudah beberapa kali kesini.
Dengan semangat kami berangkat melewati lorong-lorong rumah warga yang sepi dan gelap. Penghuninya pasti sudah terlelap sedari tadi. Melewati jalanan datar berbatu membelah ladang warga yang langsung mengelurkan aroma khasnya begitu membuat jantungku terpacu. Siluet pegunungan yang mengelilingi tampak cantik ditampah ribuan bintang di angkasa yang berkelip malu-malu bersanding dengan sang bulan. Sempurna cuaca cerah dan sangat mendukung.
Sekitar 20 menit berjalan membelah ladang warga, track menanjak langsung menyapa. Bebatuan yang cukup membantu langkah ku yang pendek. Terkadanag aku berhenti sejenak mencium aroma harum buah khas Dieng “carica”. Buah unik yang mirip papaya ini menjadi buah favoritku. Tidak lebih dari setengah jam menanjak kami menemukan kembali jalanan datar yang tertutup rerumputan sangat lebat dan tingginya hampir sepadan dengan tinggiku.
Memang disini masih sangat asri dan alami. Tidak jarang harus menyingkirkan rerumputan yang menutup jalur. Jalanan menurun yang cukup licin akhirnya membawaku menatap silut batu besar yang menjulang gagah ke langit. Inikah icon dari bukit ini ??? aku berusaha menahan keinginan tahuku untuk lebih focus ke jalan yang kembali turun lebih curam dan licin. Dan aku cukup memilih dan berhati-hati karena ternyata kanan-kiri jalur adalah semak berduri.
Jalur menurun akhirnya tuntas membawa kami ke sebuah mirip lembah yang penuh dengan rerumputan. Satu spot kami tentukan untuk mendirikan tenda. Sambil memasak dan berganti pakaian tidur aku melihat ke sekitar dengan pandangan terbatas. Setelah perut terisi kami semua pergi tidur di atas matras yang empuk dan berharap semoga esok tetap cerah.
Pagi hari masih dingin berselimut kabut. Aku memaksa bangun dan keluar tenda. Begitu melihat sekitar rasa takjub syukur senang semua bercampur membuatku tertawa membangunkan yang lain. Semua hijau tanpa terkecuali, hanya batu yang semalam aku liat mirip paku dan icon tempat ini. Menurut legenda itulah paku Jawa agar pulau Jawa bisa tegap pada posisinya. Dan itulah asal usul nama bukit ini bukit “Pakuwaja”.
berjalan di bekas telaga yang mengering
Tidak melewatkan moment aku berfoto  mengabadikan cantiknya pakuwaja. Menurut cerita mas Hands tanah yang sekarang dipijak adalah telaga yang sudah mengering. Pantas saja saat kaki melangkah seperi melangkah di busa,empuk. Begitu asri dan alami semua masih belum tersentuh oleh tangah jahil manusia dan semoga kelak tetap terus seperti ini.
Semakian siang kami memutuskan kembali. Berjalan ke jalur yang sama saat berangkat. Aku menyempatkan diri untuk mendekati batu yang mirip paku. Ternyata diantara lubang batunya terdapat sesajen yang mungkin sengaja di letakkan. Tapi fokusku adalah ke pemandangan yang berbeda tidak seperti di bawah. Disini bisa terlihat dua cerukan bekas telaga mengering dan bukit-bukit yang meliuk mengelilingi.


Semoga jika ada kesempatan lagi aku ingin berkunjung satu persatu harta karun Dieng dan juga berkunjung kembali ke sini, Pakuwaja. Tempat impian dengan sejuta kecantikkannya.

-Perjalanan 15-16 Maret 2014-
keceriaan di Pakuwaja ( dua yang lain fotografer)

Sabtu, 05 Juli 2014

Diantara Pesona Prau(Jangan Remehkan Apapun)

ilustrasi foto sumber https://www.facebook.com/photo.php?fbid=787550487926695&set=t.100000230781246&type=3&theater
Ini hanya cerita kecil yang semoga bisa bermanfaat. Aku bukanlah seorang pendaki hebat yang telah melanglang buana jauh. Aku hanya seseorang yang menyukai dan menikmati ketika berada di alam mendengarkan music hewan dan kabut yang menyelimuti pepohonan.
Aku sangat ingat akan satu kalimat yang sederhana tapi tidak boleh diremehkan.”SAFETY FIRST”. Setiap perjalanan utamakan keselamatan itulah modal utama. Aku juga mencoba menanamkan pada serombongan teman-teman yang nanti akan mendaki sebuah bukit atau gunung dengan ketinggian 2565mdpl. Jangan meremehkan alam, tinggi atau rendahnya karena kematian datang dimanapun kapanpun tanpa permisi dan tanpa diketahui.

Leader kali ini Mas Alfri sedangkan aku bertugas sebagai sweeper membawa 12 orang yang terdiri dari 6 laki-laki dan 6 perempuan. Untuk pertama kalinya mereka mendaki ke gunung, hanya 2 atau 3 orang yang sudah kedua kalinya mendaki. Itu info yang aku peroleh dari leader team.
Tidak bosan menanyakan mereka akan persiapan pribadi dan kelompok. Karena ini pertama kalinya mereka pasti butuh arahan dan aku dengan Mas Alfri tidak bosan mengarahkan dan mengingatkan. Aku berharap perjalanan kali ini  lancar tanpa kendala berarti. Peralatan kompor sudah aku cek dan insyallah cukup. Dan peralatan pribadi mereka sudah diberi arahan dan paham.
Perjalanan menembus malam di ketinggian dengan dingin yang terus menampar sisi kulit yang tidak tertutup kain.  Sejauh hingga hampir setengah perjalanan tidak ada halangan seberapa. Hanya sebagian dari mereka terkadang kelelahan atau sulit mengatur nafas. Ritme perjalanan yang terkadang terlalu cepat dan memang awalnya mereka belum pemanasan dan penyusaian suhu mempengaruhi fisik mereka.
Aku mencoba mengatur ritme mereka. Berjalan pelan namun pasti terus bergerak dan tidak terlalu lama beristirahat karena hawa dingin pasti akan segera menguasai. Malam itu ratusan pendaki berduyun-duyun mendaki gunung. Membuat hiasan cahaya jika dari jauh dilihat. Perjalanan malam hari memang memiliki resiko lebih besar jika dibanding pada siang hari. Tubuh yang seharusnya beristirahat kini harus diajak berjalan menapaki medan menanjak. Ditambah angin kencang yang mulai menampar-nampar. Masuk angin sudah pasti, aku mensiasati dengan meminum 2 tablet obat anti masuk angin agar tubuh hangat.
Satu persatu dari mereka sebelum ke puncak mulai turun semangatnya. Pasokan air langsung terkuras karena mereka terus-terusan minum dan satu hal lagi ternyata mereka membawa minum kurang dari standar bekal minum yang harusnya dibawa. Aku menyarankan untuk membawa minum 2,5liter-3liter untuk mereka. Setikdanya itu perhitunganku untuk naik dan turun. Tapi sebagian dari mereka hanya membawa kurang dari 1,5liter. Bahkan saat itu hanya tersisa kurang dari setengahnya. mungkin mereka lupa kalo di atas sana tidak ada mata air sama sekali, padahal aku sudah berkali-kali mengingatkan. 
Yang ditunggu akhirnya sampai, puncak yang dinanti. Dengan sigap aku di ikuti yang lain mencari shelter dan mendirikan tenda, berusaha secepat yang diusahakan, karena ternyata dipuncak angin berhembus lebih kencang dan terasa lebih dingin. entah berapa lama kami semua mendirikan 4 buah tenda, menghiasi puncak yang sebelum sudah dihiasi puluhan tenda.
cerahnya Prau 
Sebelum terlelap salah satu perempuan dalam rombongan kami terserang hypothermia dan tidak sadarkan diri. Sejauh dan secepat yang aku bisa dibantu yang lain menanggani dia. Sleeping bag kaos kaki baru jaket baru sarung tangan baru hingga pakaian baru aku siapkan untuk dikenakan ke dia. Karena bajunya lembab dan pasti dingin. Sambil menyadarkan dia segelas teh panas disiapkan. Untunglah dia merespon dan terus merintih merasa kedinginan. Botol-botol air kosong langsung diisi air panas dan dimasukan ke dalam sleeping bag karena dia menolak untuk dipeluk olehku sesama perempuan. Khawatir karena terus menggigil, aku memliki ide bodoh, aku membawa masuk kompor portable dan terus menerus memasak air mengganti yang lama dengan yang baru agar dia terus merasa hangat. Terus seperti itu hingga pagi menjelang. Perasaan lega menyeliputi aku dan yang lain ketika dia sudah membaik dan mengajak untuk melihat sunrise.
Saat itu bukit atau gunung yang memiliki ketinggian 2565mdpl yang dikenal dengan bukit teletabis atau gunung Prau memang tengah dihadapi udara dingin dan angin kencang. Menurut warga dan pihak basecamp memang belum turun hujan. Pantas saja dinginnya sangat awet hingga cahaya matahari bahkan belum bisa menghangatkan.

Mungkin banyak yang telah menghadapi hypothermia sama seperti yang dialami teman seteamku. Di waktu yang sama satu sahabat alam berpulang di tanah yang sama yang aku pijak. Dia menutup mata dan menghembuskan nafas terakhir dalam dekapan kabut dingin dan panorama alam yang menakjubkan. Semoga arwahmu damai disana.
Tiada yang tau kapan dan dimana kita akan berhenti untuk selamanya. Namun tetap safety first adalah harga mati. Barang bawaan logistic dalam carier adalah nyawa. Jangan meremehkan tetap waspada selalu berdoa. Salamku untuk semua yang cinta ketinggian. Tiada yang kekal di dunia, kita hanya menumpang sementara. Jaga dan lestarikan. Teruslah merunduk ketika di puncak karena hakikatnya kita hanyalah makhluk kecil yang diciptakan untuk kembali pada-Nya.

-Perjalanan 7-8 Juni 2014-