![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhIojDurN-RFVUkUx9q1VeoYHbCKzx6DxyMNN-lu2HpLFROLMcHtrUvhSwFOCkIyqL1rmJZOM-Wit6KekBajitP3BGjyfVC9JRBHuaZUI3g4voyfHZ_FssI5tR1w91KlW25mtVetWKcBMI/s1600/1509081_784665608217791_7813205758503533929_n.jpg) |
akses menuju desa Tembelang (pasca banjir) |
Ini kisahku yang tak punya banyak waktu untuk terus bersama mereka, keluarga baru dan malaikat-malaikat kecilku. Aku mengenal mereka saat pertama kali kesana tanggal 15 Februari 2014. Dan kembali lagi tanggal 22 Februari 2014 dengan segudang rindu pada mereka.
Bencana alam yang sempat menguncang seluruh kawasan Indonesia tak luput pula menguncang di daerah pinggir di kabupaten Pemalang. Hampir sebagian kabupaten Pemalang terkena musibah banjir, longsor , banjir bandang dan masih banyak lagi.
Dari sekian desa yang terkena dampa kakhirnya rekan-rekanku dan aku menentukan pilihan, mentotalkan seluruh upaya kami di desa Cikadu kecamatan Watukumpul kabupaten Pemalang. Desa Cikadu memiliki tiga posko pengungsi yakni posko Pustu (balaidesa) posko Kalilingseng(pengungsi desa Tembelang) dan posko Jojogan (sekarang terdiri dari 4 posko ditambah posko Siranti). Desa Cikadu mengalami longsor pada tanggal 1 Februari malah hari. Tanggal 5 februari beberapa rekanku datang mensurvey lokasi pengungsian dan bencana.
Lokasi bencana yang berada di dusun Tembelang cukup jauh dari lokasi pengungsian di Kalilingseng. Akses menuju lokasi bencana hanya bisa dengan jalan kaki menyusuri jalanan aspal kecil yang sepanjang jalan terdapat titik longsor. Selain itu harus menyusuri sungai yang penuh ranting akibat banjir bandang. Sesampainya di desa Tembelang kita hanya bisa menyaksikan rumah-rumah yang di tinggal. Seperti desa mati tanpa penghuni juga tanpa listrik. Karena akses listrik juga harus terputus, padahal 4 bulan yang lalu desa ini baru saja mendapatkan pasokan listrik.
Berjalan memasuki desa melihat-lihat dimana kenangan pernah dibuat disini begitu menyayat hati. Satu perhatianku dipaku pada longsoran tanah yang mengenai rumah hingga porak ponda. Terbesti pikiranku bagaimana perasaan warga Tembelang saat bencana ini berlangsung.Takut, resah, sedih semua bercampur tidak tau mana yang lebih mendominasi. Memang desa Tembelang bukan lokasi yang aman untuk dihuni karena sebagian desaTembelang hampir dikepung oleh longsor.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQTkP5Zpic4eAAAoPicPnXEdFZ3_u4iUrBXpmF0AJL984LxEB7T-P3vz5FZxbsNqGSu2Rq8SV8OnLWGH83YdDl_Qja9x-g294wneZCoWVUq4YlaLYi60jo-LyP6dE3TTqpnWGz0PIu_XY/s1600/10176173_784662138218138_5406615036114012522_n.jpg) |
antusias anak-anak menonton film |
Untuk beberapa minggu atau mungkin bulan warga desa Tembelang harus rela tinggal beratap bangunan sekolah kecil di SD Negeri 4 Kalilingseng. Segala kebutuhan masih minim koordinasi juga belum berjalan. Perlahan namun pasti semua relawan menata dan mencari bantuan guna mencukupi kebutuhan pengungsi. Sebagian kelas di gunakan untuk para pengungsi,satu kelas di gunakan untuk gudang logistik dan posko kesehatan terkadang digunakan untuk tempat bersitirahat para relawan, teras kecil sekolah di gunakan untuk dapur umum dan sebagian kelas dibiarkan kosong, Terkadang di gunakan untuk kegiatan menonton film bersama atau trauma hailing.
Dalam keadaan serba kekurangan,anak-anak juga harus tetap menuntut ilmu. Mereka rela bersekolah di tenda darurat yang di bangun di lapangan sekolah. Tenda darurat hanya bisa menampung dua kelas yang bahkan tidak ada sekat. Bisa dibayangkan, mereka belajar secara bergilir berdesakan, bukan suasana yang sesuai untuk belajar. Namun mereka tidak menyerah dan tidak pernah putus asa untuk terus belajar. Di petang hari mereka mengaji bersama di masjid dekat posko mengungsi. Mereka semua adalah anak yang santun, pintar, aktif dan sangat antusias. Banyak hal yang ingin mereka ketahui.
Awalnya memang sulit mengatur mereka apalagi mengajak mereka untuk ikut kegiatan trauma hailing. Namun, karena mereka suka sesuatu yang baru dan menarik, akhirnya mereka pun ikut antusias.Biasanya diawali pagi hari kami melakukan senam kecil. Menggoyangkan tangan,kaki, pinggul dan kepala di iringi lagu sederhana. Saat menjelang malam biasanya diisi dengan mendongeng atau menonton film. Tak hanya menghibur mereka kami juga turut mengajak mereka untuk belajar namun tetap diselingi dengan bermain. Mengajarkan mereka untuk menjaga lingkungan dengan cara memungut sampah, mencuci tangan, kuis dan lainnya.
Mereka masih sangat polos dan belum melirik teknologi modern. Pernah ada kejadian lucu saat menonton film di pagi hari karena di luar hujan. Awalnya mereka antusias menunggu film apa yang di akan di saksikan. Saat film berlangsung, satu persatu dari mereka mulai sibuk menjahili teman sebelahnya dan akhirnya mereka lebih sibuk untuk bermain puzzle atau congklak. Tidak bisa menolak, aku pun ikut bermain dengan mereka, menatap polah mereka yang lucu atau menjawab pertanyaan-pertanyaan kecil mereka.
Dunia anak-anak memang dunia yangsangat menyenangkan penuh imajinasi dan penuh mimpi. Terkadang aku dan temanrelawan yang lain berkhayal kelak nanti jadi apa mereka. Aku pernah melontarkanpertanyaan pada anak-anak kecil yang aku ajak main. Mereka kisaran umur kelasdua sekolah dasar hingga yang paling kecil tiga tahun. Ketika aku bertanyabesar nanti mereka ingin jadi apa dengan polos mereka menjawab ingin jadi kakakrelawan. Sederhana. Tapi membuat kami para relawan terutama aku terharu. Tidakbanyak waktu yang aku habiskan bersama mereka namun mereka banyak mengajarkanaku tentang ilmu kehidupan.
Aku menjuluki anak-anak kecil pengungsian sebagai malaikat kehidupan. Senyum, semangat dan semua yang ada pada diri mereka adalah anugrah yang Tuhan berikan di balik musibah ini. Mereka memberi lebih dari yang orang-orang beri. Mereka sangat kuat melebihi longsor yang menimbun desa mereka. Mereka lah malaikat kehidupan memberikan pelita digelapnya jalan di depan nanti, mereka adalah embun yang menangkan hati dan mereka adalah makhluk kecil yang kelak nanti akan meneruskan generasi ini. Mungkin,tidak ada yang istimewa mungkin bagi kalian yang belum bertemu mereka. Tapi bagiku yang mengenal mereka hanya dalam hitungan jam hitungan hari mereka sangat istimewa. Tetap tegar dan kuat malaikat malaikat kecilku.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgGHkXqjCS6lTWWJG4QWCH7WiHa-svhX6utDJ3qP_-PLxyF7wAipqVmyUXzWwczNEZ03yZJSY91vNXpL-6hBGEQ4rPxsM9u-snn69aKg6wmgAk2YCpZsVLSIXktZFuTEsNOQUkuh7zyju4/s1600/1780886_768641706496742_197079393_n.jpg) |
bersama mereka (keluarga) |
Musibah bencana longsor yang menimpa dusun Tembelang pada 1 Februari 2014 malam hari, harus memaksa para penduduk dusun untuk mengungsi tempat yang lebih aman. Terpilihlah komplek bangunan sekolah kecil Sekolah Dasar Negeri 4 Kalilingseng yang berjarak cukup jauh dari lokasi bencana. Disana para penduduk desa harus rela tinggal bersama berbagi atap untuk tempat bernaung mereka selama berbulan-bulan ke depan. Di tempat itu, berkumpul 333 orang yang terdiri dari beberapa kepala keluarga yang besar diantaranya memiliki anak-anak.
Di posko pengungsi mereka melakukan aktifitas seperti biasa secara bersama. Ruangan-ruangan sekolah dasar di alih fungsikan untuk tempat beristirahat, untuk gudang logistic dan posko kesehatan, untuk dapur umum dan sisanya di gunakan secara fleksibel. Dengan adanya alih fungsi seperti ini, maka para siswa sekolah dasar harus belajar di tenda darurat yang didirikan di tengah lapangan sekolah. Secara bergantian para siswa menimba ilmu didalam tenda yang dibagi menjadi dua bagian kelas. Dengan peralatan dan kondisi seadanya mereka tetap menimba ilmu dengan semangat.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiHkEsKwdZUqr4_tV0shw_DGOD5KAydQMNobmua5CcOYFmODoT64WxWs1n0WMs1ynN-haIJmvxSWn5QAolR3hu7qKIp55jJJDQlP6XBU-hvSsx8M_IkYQwHuXJziKd6olEx9hJUvYpBH8A/s1600/10389657_822145934469758_1353335378996626793_n.jpg) |
titik longsor |
Untuk tetap terus menjaga mental dan memberikan hiburan yang beredukasi, para relawan biasanya melakukan trauma hailing. Beragam permainan, kuis, dongeng dan segala macam trauma hailing yang di berikan semata-mata untuk tetap membuat mereka menikmati masa anak-anak yang selalu di hiasi dengan imajinasi dan kreatifitas. Dengan keterbatasan yang ada mereka juga tetap bermain dengan peralatan yang ada. Seperti, congklak, puzzle dan permainan tradisional lainnya. Di posko tidak ada media elektronik, hanya berandalkan laptop dan juga mesin proyektor yang sengaja para relawan siapkan yang digunakan untuk menonton film bersama.
Sebenarnya sekolah dasar ini bukanlah sekolah yang sangat minim fasilitas, hanya saja kurang. Perpustakaan yang ada juga tidak terurus karena masih digunakan untuk mengungsi. Anak-anak hanya bisa membaca buku seadanya dan buku-buku dari donasi. Padahal adanya perpustakaan sangat menunjang mereka untuk tetap terus belajar dikala waktu belajar mereka harus berkurang di sekolah. Selain itu perpustakaan juga berguna untuk membuka wawasan terhadap dunia di luar sana yang masih belum mereka ketahui. Apalagi sebagian dari mereka tidak memiliki transportasi pribadi untuk keluar dari kawasan desa. Transportasi umum juga tidak menembus hingga ke posko dikarenakan akses yang mulai rusak dan juga sebagian tertutup longsor.
Bisa dibayangkan mereka hidup ditanah yang subur namun harus minim fasilitas. Beberapa hari disana menyadarkan pada aku bahwa ternyata negeri ini belumlah merdeka untuk mereka. Yang harus bersabar menghadapai kehidupan yang minus dikala yang lain sudah merasakan enaknya hidup di zaman modern.
Namun, dengan keadaaan seperti itu para anak-anak di didik untuk belajar agama. Setiap hari usai ba’da magrib mereka berkumpul di masjid dekat posko untuk mengaji. Sebagian dari mereka sudah pintar, bahkan bagi anak-anak yang belum pandai membaca atau menulis mereka sudah pintar membaca iqro. Sungguh kebutuhan yang perlu mereka punya untuk pedoman nanti, dimana sebagian anak-anak diluar sana minus akan pendidikan agama.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjwrbF5h0c403sVe4vFr3AroKL3ianDdIqDym9OUmIddRPzpDrsJXZJ6Di0VQ5WFLc9v6eauE3s359Me22hq-UiQEj77Rpa5Yvt6tlolVgsvdYDbQdh-uwliwwomFKIxMVIhCadQdLG3xQ/s1600/10155639_784663278218024_6539071538195477327_n.jpg) |
Zahra bayi kecil yang lahir ketika di pengungsian |
Mencari informasi lebih dalam dengan waktu yang terbatas, bisa disimpulkan akan keadaan kesadaran pendidikan untuk masyarakat desa ini. Kebanyakan dari mereka masih berfikiran kala tempo dulu.Dimana seorang gadis perempuan tidaklah perlu pendidikan tinggi, cukup membaca dan menulis. Alasannya karena kelak nanti akan mengurus keluarga dirumah. Faktanya banyak gadis belia usia belasan yang sudah menikah. Bahkan sebagian dari mereka sudah memiliki momongan. Seharusnya di usia mereka, mereka masih memikirkan jenjang pendidikan lebih tinggi atau bermain layaknya remaja.
Selain itu masyarakat desa juga kekurangan laki-laki usia produktif. Kebanyakan, dari mereka merantau keluar desa atau kota mencari peruntungan dengan bekal pendidikan yang minim. Memang,kebanyakan laki-laki desa di dominasi oleh bapak-bapak dan anak-anak. Sedikit sekali untuk laki-laki usia produktif, sekalipun ada pasti sudah memiliki istri.
Terbayangkan, hidup dalam pengungsian menanti relokasi pemerintah yang menjanjikan memberi lokasi yang aman untuk warga desa ke depannya. Warga hanya bisa berharap dan berdoa semoga secepatnya relokasi bisa dituntaskan. Mereka bisa hidup normal kembali, menata kembali rantai kehidupan yang kemarin sempat terbelit. Kembali mengais rejeki demi anak-anak dan menjalani kehidupan dengan tentram. Semoga janji pemerintah bukanlah hanya janji di mulut belaka dan semoga bencana yang terjadi bisa dijadikan pembelajaran diambil hikmahnya.
Karena bencana bukanlah akhir dari segalanya. Namun titik dimana kita diajarkan untuk kembali menata dari awal agar lebih baik, lebih cermat, lebih teliti, lebih tekun dan lebih kuat dari sebelumnya. Tidak ada manusia yang diberi cobaan melebih batas kemampuannya.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiH0U55emfqo-YH_tq8LVbHjkqfUFMYFyL9Z9dV8DQCkiYNUDdo0Yco99jAWsip7VM9qPdYieUYzyKg4t70TAtK_FyzvNOyRBOzUtQE40JsN9Sxum5hvkkSCVKt-bJkROZgDs6buXTo7oo/s1600/10174835_784663644884654_6655492870614492944_n.jpg) |
pelita dalam kegelapan. senyum mereka adalah semangat |
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhv2EWzBajq0ku1ikNm-oWKhs9bE_ROt5I6KjU5dNIPlc5zAydX2sK3PxGC1JPYevAZYT41_MTVJn6CGnm3CXzmeilYQd3_dHwLWFljjucvWUXnv9H1vSdBKiNppMas05uA2SBHpGg_viE/s1600/1888658_768639983163581_8083459_n.jpg) |
antusias mereka mengikuti berbagai macam kegiatan, seperti cuci tangan |
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-7NQWo68gIyoOzi8Y3CT9ygmX7e-wYf2541OoXAuDwaEvo1n2C6z6YlPLIWj0ZamoJ_-mwKNz1u3x0zg_nsJpOIs_e88K3Rq0BCfZ0GVRwsGZtIsOucpQbn-KGJDIPjTX6IASD3bXi9Q/s1600/1925261_768640706496842_187785229_n.jpg) |
pelita yang selalu bersinar (adik-adik kecil) |
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuEJTzNAu2SbGoB3A2yB9VCvvx0YbKQVoznDUlGGJslmaoLYdR0nlxmS7i1djTNIsViVzZ1geq8BI2F-tpre4Lm_yWE92o0yJCgpfmnxiI4LKX3063lvj0qf4z1IVBkyBlirqm-KshU6M/s1600/10458751_822146937802991_2937952682348163961_n.jpg) |
salah satu rumah terkena dampak longsor |
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg2bwKFnGU3DAMi0y2co4STvuItTWBVvIPX87Hv-jw86UWws_UsGrHcyBGi7SoCwHU79v6Yd0fUbxQmIDNHzweB1jhjWpDV6T98yE8Fp9Tg3m_g3ffHLuCuBVjHkeqjH7z30hmUAh48ihg/s1600/1780661_750416654976020_460741305_n.jpg) |
sekolah sementara |
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjW4B5Bjc-hkZnO5g2abaib8GfflxZhzAnWYwu50yHzH7yH62-NOWibSDwunkmURynDwDPxh9TSh7TCh24mLtdTOOFRwIqQjw62q8ajueNw5dEKsWYHlnEmL-U8F0zg5Mc3wZTb5LoAwQw/s1600/10406813_808316942519324_7696818410970908109_n.jpg) |
mengenang kehangatan desa Tembelang |