Senin, 07 Juli 2014

Harta Karun di Balik Legenda (Pakuwaja)

sisi lain Pakuwaja
Memang Dieng menyimpan sejuta harta keindahan alam yang masih terjaga kelestariannya. Dan kali ini aku mendapat kesempatan mengunjungi salah satu harta yang masih sarat akan legendanya. Total kami bersembilan tepat malam hari kami meluncur langsung ke pos perijinan. Anehnya, di pos perijinan rombongan kami sedikit dipersulit. Banyak alasan yang terlontar ketika pihak perijinan tau kemana tujuan kami. Track yang susah, track yang terjal dan berat terlebih cuaca dingin, tidak ada sumber mata air dan lain sebagainya adalah alasannya. Tapi leader kali ini Mas Hands mengaku tidak masalah dan aman saja. Kami semua percaya karena dia sudah beberapa kali kesini.
Dengan semangat kami berangkat melewati lorong-lorong rumah warga yang sepi dan gelap. Penghuninya pasti sudah terlelap sedari tadi. Melewati jalanan datar berbatu membelah ladang warga yang langsung mengelurkan aroma khasnya begitu membuat jantungku terpacu. Siluet pegunungan yang mengelilingi tampak cantik ditampah ribuan bintang di angkasa yang berkelip malu-malu bersanding dengan sang bulan. Sempurna cuaca cerah dan sangat mendukung.
Sekitar 20 menit berjalan membelah ladang warga, track menanjak langsung menyapa. Bebatuan yang cukup membantu langkah ku yang pendek. Terkadanag aku berhenti sejenak mencium aroma harum buah khas Dieng “carica”. Buah unik yang mirip papaya ini menjadi buah favoritku. Tidak lebih dari setengah jam menanjak kami menemukan kembali jalanan datar yang tertutup rerumputan sangat lebat dan tingginya hampir sepadan dengan tinggiku.
Memang disini masih sangat asri dan alami. Tidak jarang harus menyingkirkan rerumputan yang menutup jalur. Jalanan menurun yang cukup licin akhirnya membawaku menatap silut batu besar yang menjulang gagah ke langit. Inikah icon dari bukit ini ??? aku berusaha menahan keinginan tahuku untuk lebih focus ke jalan yang kembali turun lebih curam dan licin. Dan aku cukup memilih dan berhati-hati karena ternyata kanan-kiri jalur adalah semak berduri.
Jalur menurun akhirnya tuntas membawa kami ke sebuah mirip lembah yang penuh dengan rerumputan. Satu spot kami tentukan untuk mendirikan tenda. Sambil memasak dan berganti pakaian tidur aku melihat ke sekitar dengan pandangan terbatas. Setelah perut terisi kami semua pergi tidur di atas matras yang empuk dan berharap semoga esok tetap cerah.
Pagi hari masih dingin berselimut kabut. Aku memaksa bangun dan keluar tenda. Begitu melihat sekitar rasa takjub syukur senang semua bercampur membuatku tertawa membangunkan yang lain. Semua hijau tanpa terkecuali, hanya batu yang semalam aku liat mirip paku dan icon tempat ini. Menurut legenda itulah paku Jawa agar pulau Jawa bisa tegap pada posisinya. Dan itulah asal usul nama bukit ini bukit “Pakuwaja”.
berjalan di bekas telaga yang mengering
Tidak melewatkan moment aku berfoto  mengabadikan cantiknya pakuwaja. Menurut cerita mas Hands tanah yang sekarang dipijak adalah telaga yang sudah mengering. Pantas saja saat kaki melangkah seperi melangkah di busa,empuk. Begitu asri dan alami semua masih belum tersentuh oleh tangah jahil manusia dan semoga kelak tetap terus seperti ini.
Semakian siang kami memutuskan kembali. Berjalan ke jalur yang sama saat berangkat. Aku menyempatkan diri untuk mendekati batu yang mirip paku. Ternyata diantara lubang batunya terdapat sesajen yang mungkin sengaja di letakkan. Tapi fokusku adalah ke pemandangan yang berbeda tidak seperti di bawah. Disini bisa terlihat dua cerukan bekas telaga mengering dan bukit-bukit yang meliuk mengelilingi.


Semoga jika ada kesempatan lagi aku ingin berkunjung satu persatu harta karun Dieng dan juga berkunjung kembali ke sini, Pakuwaja. Tempat impian dengan sejuta kecantikkannya.

-Perjalanan 15-16 Maret 2014-
keceriaan di Pakuwaja ( dua yang lain fotografer)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar