![]() |
sisi lain Pakuwaja |
Memang Dieng menyimpan sejuta harta keindahan alam yang
masih terjaga kelestariannya. Dan kali ini aku mendapat kesempatan mengunjungi
salah satu harta yang masih sarat akan legendanya. Total kami bersembilan tepat
malam hari kami meluncur langsung ke pos perijinan. Anehnya, di pos perijinan
rombongan kami sedikit dipersulit. Banyak alasan yang terlontar ketika pihak
perijinan tau kemana tujuan kami. Track yang susah, track yang terjal dan berat
terlebih cuaca dingin, tidak ada sumber mata air dan lain sebagainya adalah alasannya. Tapi leader
kali ini Mas Hands mengaku tidak masalah dan aman saja. Kami semua percaya
karena dia sudah beberapa kali kesini.
Dengan semangat kami berangkat melewati lorong-lorong rumah
warga yang sepi dan gelap. Penghuninya pasti sudah terlelap sedari tadi. Melewati
jalanan datar berbatu membelah ladang warga yang langsung mengelurkan aroma
khasnya begitu membuat jantungku terpacu. Siluet pegunungan yang mengelilingi
tampak cantik ditampah ribuan bintang di angkasa yang berkelip malu-malu
bersanding dengan sang bulan. Sempurna cuaca cerah dan sangat mendukung.
Sekitar 20 menit berjalan membelah ladang warga, track
menanjak langsung menyapa. Bebatuan yang cukup membantu langkah ku yang pendek.
Terkadanag aku berhenti sejenak mencium aroma harum buah khas Dieng “carica”. Buah
unik yang mirip papaya ini menjadi buah favoritku. Tidak lebih dari setengah
jam menanjak kami menemukan kembali jalanan datar yang tertutup rerumputan
sangat lebat dan tingginya hampir sepadan dengan tinggiku.
Memang disini masih sangat asri dan alami. Tidak jarang
harus menyingkirkan rerumputan yang menutup jalur. Jalanan menurun yang cukup
licin akhirnya membawaku menatap silut batu besar yang menjulang gagah ke
langit. Inikah icon dari bukit ini ??? aku berusaha menahan keinginan tahuku
untuk lebih focus ke jalan yang kembali turun lebih curam dan licin. Dan aku
cukup memilih dan berhati-hati karena ternyata kanan-kiri jalur adalah semak
berduri.
Jalur menurun akhirnya tuntas membawa kami ke sebuah mirip
lembah yang penuh dengan rerumputan. Satu spot kami tentukan untuk mendirikan
tenda. Sambil memasak dan berganti pakaian tidur aku melihat ke sekitar dengan
pandangan terbatas. Setelah perut terisi kami semua
pergi tidur di atas matras yang empuk dan berharap semoga esok tetap cerah.
Pagi hari masih dingin berselimut kabut. Aku memaksa bangun
dan keluar tenda. Begitu melihat sekitar rasa takjub syukur senang semua
bercampur membuatku tertawa membangunkan yang lain. Semua hijau tanpa
terkecuali, hanya batu yang semalam aku liat mirip paku dan icon tempat ini. Menurut legenda itulah
paku Jawa agar pulau Jawa bisa tegap pada posisinya. Dan itulah asal usul nama
bukit ini bukit “Pakuwaja”.
![]() |
berjalan di bekas telaga yang mengering |
Tidak melewatkan moment aku berfoto mengabadikan cantiknya pakuwaja. Menurut cerita
mas Hands tanah yang sekarang dipijak adalah telaga yang sudah mengering. Pantas
saja saat kaki melangkah seperi melangkah di busa,empuk. Begitu asri dan alami
semua masih belum tersentuh oleh tangah jahil manusia dan semoga kelak tetap
terus seperti ini.
Semakian siang kami memutuskan kembali. Berjalan ke jalur
yang sama saat berangkat. Aku menyempatkan diri untuk mendekati batu yang mirip
paku. Ternyata diantara lubang batunya terdapat sesajen yang mungkin sengaja di
letakkan. Tapi fokusku adalah ke pemandangan yang berbeda tidak seperti di
bawah. Disini bisa terlihat dua cerukan bekas telaga mengering dan bukit-bukit
yang meliuk mengelilingi.
Semoga jika ada kesempatan lagi aku ingin berkunjung satu
persatu harta karun Dieng dan juga berkunjung kembali ke sini, Pakuwaja. Tempat impian
dengan sejuta kecantikkannya.
-Perjalanan 15-16 Maret 2014-
-Perjalanan 15-16 Maret 2014-
![]() |
keceriaan di Pakuwaja ( dua yang lain fotografer) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar