Rabu, 20 Agustus 2014

Masih Tetap Belajar (Memperingati HUT RI Ke-69)

Tidak ada niat lain ketika aku sendiri menuliskan ini. Hanya berniat untuk mengingatkan kembali, menjadi pelajaran kita semua yang akan bercengkrama dengan alam. Semoga selalu diberi kebaikan bagi kita yang berniat baik.



Merah Putih kala itu
Bulan Agustus adalah moment spesial untuk negeri tercinta Indonesia. Dimana tepat pada tahun ini Indonesia menikmati kemerdekaan 69 tahun lamanya. Menjadi agenda tahunan untuk para penikmat alam, untuk merayakannya diketinggian maupun lokasi tertentu. Kali ini, aku mengurungkan niatku untuk singgah ke Dieng merayakan moment kemerdekaan disana. Minimnya informasi ditambah awal perjalanan yang terlalu kemalaman membuatku pindah haluan ke lokasi camp di Kalipagu.
Ternyata antusias yang biasanya meramaikan lokasi camp, malam ini tampak sepi. Hanya beberapa motor saja yang sudah terpakir rapi. Aku dan mas Alfri pun akhirnya memutuskan untuk camp di BC. Lokasi yang bagus untuk menikmati malam dan juga matahari terbit yang lokasinya cukup dekat. Kami berjalan di iringi lagu untuk mengusir sepi, mataku begitu teliti mengamati setiap pijakan. Terkadang aku berhenti, mengamati perubahan disini. Banyak tanaman belukar yang sudah mati atau tersingkir dengan sengaja, hingga jalanan tampak begitu jelas. Belum lagi sisi pijakan yang ke arah jurang, terdapat longsoran yang masih baru. Aku teringat beberapa bulan yang lalu menginjakan kaki kesini, waktu itu untuk berjalan saja susah karena tanaman belukar masih menutup jalan tapi tidak untuk sekerang.
Akhirnya, setelah perjalanan penuh tanya sampai juga di sebuah shelter kecil. Ternyata ada rombongan lain yang juga camp kesini. Kami pun meminta izin untuk menempati shelter yang berada di ujung. Aku dan mas Alfri langsung mendirikan tenda dan berbenah. Terkadang aku melihat rombongan mereka yang terdiri dari 5 orang lelaki dengan bingung. Mereka tampak santai menikmati cemilan dan memasak. Hanya beralaskan tikar yang biasa untuk dirumah dan juga kompor kaleng yang menurutku kebesaran untuk memasak. Aku menyapa mereka, menanyakan mereka karena tidak ada tenda yang tampak berdiri padahal malam itu langit tampak mendung dan pastinya akan turun hujan. Ternyata mereka membawa, aku lega setidaknya ketika hujan mereka ada tempat berteduh.
Sembari aku mencemil jajanan, mereka ternyata mendirikan tenda. Cukup lama mereka mendirikan dengan keramaian membuatku dan mas Alfri penasaran. Benar saja, tenda mereka ternyata belum berdiri sempurna. Akhirnya kami membantu. Aku sedikit bingung mendirikan tenda mereka karena frame yang ternyata sebagian sudah rusak. Belum lagi tenda mereka tidak di lapisi flysheet ataupun cover, pastinya ketika hujan mereka akan tetap basah kuyup. Memutar otak, akhirnya mas Alfri memutuskan meminjamkan ponco untuk dijadikan flysheet dadakan. Aku sendiri berfikir, kenapa mereka begitu nekat membawa tenda dengan kondisi tidak layak. Kami pun, menawarkan jika kebasahan meneduh di tenda kami.
Malam kian larut, mereka tampak masih ramai membicarakan topic yang tidak aku tahu. Aku pun bersiap untuk pergi tidur, namun kobaran api yang tampak dari dalam tenda mengagetkanku dan mas Alfri. Kami langsung bertanya pada mereka, ternyata mereka berniat menyalakan api unggun dengan bantuan spirtus. Aku sedikit melongo mendengarnya, terlebih mereka menyalakan api unggun dekat dengan tenda kami. Aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi nanti jika api kian membesar. Mas alfri pun menyarankan untuk membuat api unggun di sebuah lubang yang ada, syukurlah mereka mau mengerti.
mentari di 17 Agustus 2014
Keesokkan paginya, matahari di 17 Agustus menyapa. Semalaman gunung Slamet setia dengan aktifitasnya yang meningkat, di tandai dengan suara gemuruh yang terus terdengar hingga pagi. Aku pun memasak sarapan dengan lauk sayur kacang panjang. Aku menyapa mereka yang tampak juga sibuk memasak sarapan. Kami saling bertukar makanan. Hingga akhirnya mereka pamitan lebih dulu untuk melanjutkan perjalanan. Aku pun berkeliling melihat bekas shelter yang mereka huni. Sayang sekali, api ditinggal masih menyala dan juga sampah berserakan kemana-mana terutama sampah tisu. Dengan miris menatap shelter favoritku, aku dan mas Alfri memunguti sampah tersisa dan memastikan api benar-benar pada.
Aku tersadar, pembelajaran yang baik perlu ditanamkan di dalam hati sebelum kegiatan apapun terutama kegiatan dengan alam dilakukan. Dulu sekali, aku selalu diajarkan untuk mengumpulkan sampah agar ketika turun bisa dengan mudah membawanya. Dan pastinya walaupun hanya sekedar camp ceria saja, perlengkapan standar untuk kegiatan di alam pasti dibawa dan dalam kondisi baik. Dan, api unggun semalam dipastikan sudah dalam keadaan padam total. Semoga pelajaran yang membuatku sadar, bisa membuat sadar mereka juga. Bahwa bijak itu sangat diperlukan terutama ketika kita bercengkrama dengan alam.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar