Pantai Komando |
Dengan santai dan tanpa ragu aku dan ke empat temanku yang
dipimpin oleh mas Galih menyebrang dengan prahu kecil menuju Nusakambangan.
Walaupun agak kesorean antusiasku tidak surut. Menikmati semilir angin dan
suara prau yang berbunyi nyaring aku melihat ke sekeliling. Banyak kapal-kapal
besar yang diam menepi di pelabuhan. Ada juga pabrik semen dari kejauhan yang
saat itu tidak terdapat aktifitas. Menyeberang melalui pelabuhan ini sangat
tenang dan aman, tidak ada goncangan ombak sekalipun.
Tugu Nusakambangan |
Akhirnya, setelah perjalanan singkat yang mendayu selama 15
menit sampailah kami semua di Pulau Nusakambangan. Tapi tunggu dulu, tempat
yang kami tuju masih cukup jauh dari penyebrangan. Perjalanan tambahan selama
kurang lebih 30 menit harus kami tempuh dengan menggunakan sepeda motor. Kami memacu motor dengan kecepatan diatas
60km/jam melewati tepi pantai yang ditanami bakau. Jalan aspal disini sangat
mulus dan sepi dari kendaraan, sehingga kami bisa dengan mudah memacu motor
dengan cepat untuk segera bisa sampai ke tempat tujuan. Selama perjalanan, kami
di sugukan pemandangan hutan rimbun yang masih lebat disisi kiri kami. Di sisi
sebelah kanan beragam jenis tanaman warga menjadi keragaman sendiri di pulau
ini. Tidak jarang, kami melewati rumah-rumah warga yang lengang, atau bangunan
tua yang kosong dan rusak ditinggal begitu saja. Memang, warga asli
Nusakambangan sebagian sudah pindah dan memilih tinggal di Cilacap atau di
tempat lain. seperti temanku mas Ilham dan mas Galih yang memilih menetap di
Cilacap.
Kami masih memacu sambil mengikuti ritme jalanan yang
terkadang berbelok ataupun lurus. Setelah setengah perjalanan pemandangan
berbeda menyapa kami dengan dinding tinggi, kawat berduri dan disana sini orang
berjaga dengan ketat. Inilah kawasan
Lembaga Permasyarakatan (Lapas). Nusakambangan memang memiliki beberapa lapas
khusus dengan tingkat pengamanan yang berbeda-beda, seperti lapas Batu, lapas
Narkotika, dan ada juga lapas Permisan. Ketika masuk di kawasan ini, siap-siap
untuk mengurungkan diri mengecek ponsel yang setia menemani. Karena di wiliayah
ini memang sama sekali tidak ada sinyal, dan itu adalah salah satu pengamanan
yang ada.
Tapi, aku tidak begitu memusingkannya karena tujuan kami
ternyata sudah di depan mata. Hamparan pasir putih dan deburan ombak yang
mencium batu karang membuat mataku seakan dimanja. Angin yang berhembus menerpa
wajah membawa aroma laut yang begitu khas di indra penciuman. Inilah pantai
Komando. Kenapa disebut pantai komando ? karena pantai ini memiliki patung yang
membentuk pisau komando yang berada di batu karang tidak jauh dari pantai.
Selain itu pantai ini memang sering digunakan untuk latihan para tentara. Aku menentukan satu spot untuk
duduk, sembari menunggu mas Galih dan mas Ryan yang kembali untuk mencari tukang
tambal ban.
Setelah kami semua berkumpul, kami berjalan santai menikmati
pantai yang hanya diramakain rombongan kami dan tiga orang anak lokal.
Nusakambangan memang kaya dengan hasil buminya, namun sayangnya eksploitasi
yang ada sedikit demi sedikit mengeruk pulau kecil ini hingga ke bawah tanah.
Lapas Permisan |
Pulau Nusakambangan pernah terkena dampak tsunami beberapa
tahun lalu. Menurut cerita mas Ilham dulu disini, terdapat patung putri duyung
yang menjadi icon pantai ini, namun terjangan tsunami menghempas dan merusaknya.
Kejadian itu membuat mas Ilham trauma dan alasan itulah membuat dia akhirnya
pindah ke Cilacap. Cerita mas Ilham lagi, seandainya jika tidak ada pulau
Nusakambangan sudah dipastikan kota Cilacap pasti akan terkena imbas tsunami
juga. Namun tsunami saat itu justru hanya menghantam Nusakambangan sehingga
melindungi kota Cilacap yang sampai saat ini roda kehidupan masyarakatnya terus
berputar.
Satu jam menghabiskan waktu di pantai, kami akhirnya
memutuskan kembali dan menunggu tukang tambal ban. Rumah tukang tambal ban ini
berada masuk ke tengah kebun yang tak terurus. Lokasinya yang sedikit tertutup
dari jalan raya, membuat sebagian orang pasti berfikir tidak ada penghuni
dibalik kebun ini. Lama menunggu disebuah rumah yang terbuat dari kayu dan tanpa
listrik ini, kami semua resah. Bukan karena puluhan nyamuk yang menyerbu tapi
waktu yang terus berputar. Ketika sang pemilik tambal ban tiba sepulang dari
ladangnya , kami ternyata harus kembali menunggu (PHP). Karena dia harus
kembali pergi ke ladang yang lain untuk menggarap sesuatu. Barulah, setelah
kembali motor milik mas Ilham digarap.
Cilacap malam (sayang ngeblur) |
Kami menunggu sembari mengobrol banyak hal dengan pemilik
tukang tambal ban dan istrinya. Ternyata mereka berasal dari Jawa Barat dan
baru tinggal disini selama 4 tahun. Banyak hal yang mereka ceritakan pada kami,
seperti kematian 3 anjing peliharaannya yang dimakan oleh macan kumbang dan
masih banyak lagi. Memang, Nusakambangan masih menjadi habitat bagi hewan-hewan
liar seperti ular, macan, rusa, babi hutan dan lainnya. Sebab itulah disini
dilarang untuk pemburuan hewan dan sudah diatur oleh undang-undang. Setelah
selesai, kami berpamitan dengan mereka untuk segera kembali ke penyebrangan.
Selama perjalanan kami berharap masih ada prahu yang akan
membawa kami kembali. Dari Nusakambangan terlihat sangat jelas kerlip lampu
kota Cilacap yang amat begitu dekat berbeda dengan Nusakambangan yang gelap.
Syukurlah, tidak perlu waktu lama untuk menunggu akhirnya kami bisa kembali
menyebrang dengan prahu yang sama. Perjalanan malam dengan prau kami nikmati
sembari menenangkan hati yang terus was-was dari tadi. Ternyata kami beruntung,
prahu yang kami naiki adalah prau terakhir. Rasa syukur selalu terucap usai
melepas Nusakambangan dan akhirnya kaki kembali menginjak di tanah Jawa.
Setelah singgah sejenak dirumah mas Galih aku dan mas Alfri berpamitan untuk
kembali melanjutkan perjalanan menuju
kerumah. Alhamdulillah Indonesia benar-benar mempesona.
-28 Desember 2014-
-28 Desember 2014-
menikmati naik prau |
Pabrik Semen |
sisi lain Pantai Komando |
bebatuan karan di Pantai Komando |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar